Dapat dari milis… Mungkin kita mesti menengok kembali kisah penghibur jalanan yg mencari nafkah yg halal.
oleh: Dr. dr. Tauhid Nur Azhar
Ketika seorang ayah memberikan uang kepada ibu untuk membelikan makanan bagi kedua anak mereka yang masih balita, maka sang ibu dengan sigapnya segera berbelanja ke tukang daging di pasar langganan.Semuanya tampak biasa dan wajar-wajar saja. Tetapi bila ternyata uang yang didapat sang ayah tadi bukanlah terkategori sebagai pendapatan yang halal, maka jalan ceritanya akan panjang dan pasti tidak akan “happy ending”.
Apalagi tokoh sang ibu dalam cerita ini rupanya tengah berbadan dua. Dongeng punya cerita, ternyata setelah diusut-usut oleh KPK, uang yang dibawa pulang oleh sang Ayah adalah uang komisi yang tidak semestinya diterima. Sang ayah yang pegawai senior sebuah instansi itu tentulah tahu dan dapat membedakan, mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan. Akan tetapi karena desakan hawa nafsu ingin tampil sebagai seorang kepala keluarga yang prestatif serta dapat menduduki maqom yang terhormat di mata istri dan keluarganya, maka uang itupun diterimanya. Dengan senang hati? Tentu tidak. Dengan jantung yang berdebar sangat kencang, sampai-sampai ia sendiri merasa bahwa jantungnya bisa saja putus saat itu juga. Keringat dingin meleleh di sepanjang tulang punggungnya, dadanya terasa sesak, sampai-sampai kemeja yang
dikenakannya serasa melekat erat bak pakaian senam. Nafas tersenggal-senggal, dan kepala terasa pening melayang. Ya, itulah pertanda seluruh tubuhnya sepakat menolak untuk ikut berpartisipasi dalam sebuah dosa.
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, (Al-Quran) yang serupa lagi berulang-ulang. Bergetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (QS Az-Zumar ayat 23)
Getaran rasa bersalah itu mengguncangkan sistem normalitas dan homeostasis alias keseimbangan internal manusia. Hormon ketakutan (skotopobin) membuncah dan terus mendorong ketidakseimbangan hormonal lainnya. Metabolisma tubuh mengalami perubahan secara drastis. Para elektron, proton, quark, lepton, bosson, dan fermion yang tengah bertasbih dan berthawaf terganggu ritmenya dan membangun sebuah keseimbangan baru sebagai suatu efek kompensasi. Sebagian dari mereka menjadi liar karena kehilangan pegangan. Sunatullah yang termanifestasi sebagai berbagai aturan yang menjamin keteraturan yang bersifat sistematik tidak lagi berjalan semestinya. Sebagai contoh, konsep larangan Pauli yang memisahkan antara elektron dengan arah spin yang sama dalam orbital Bohr yang berbeda, tidak lagi dipatuhi dan para elektron, semuanya berloncatan semaunya, semuanya semau “gue”.
Uang yang notabene hanya sekedar sekumpulan karbon yang berbentuk kertas dan sama sekali tidak berdosa, bila terpegang oleh tangan-tangan yang chaos akan ketularan dan menunjukkan sifat (fenotip) serupa. Kertas uang akan menjadi media penghantar multi level dosa (MLD). Sang ibu yang kemudian berbelanja dan membeli 1/2 kg daging has dalam dari seekor sapi yang nyata-nyata halal karena disembelih dengan menyebut nama Allah, akan kecipratan efek tidal dosa yang seperti molekul dalam gerakan Brown, membentur sana-sini dan berzig-zag kian-kemari menciprati tetesan dosa kesana-kemari, terdorong oleh panasnya energi kinetik rasa bersalah. Dan daging has dalam sapi yang halal itu, ketika terpegang oleh lengan ibu yang terkena efek gerak brown dosa, maka akan berubah pula menjadi sekumpulan atom C, H, O, N, P,dan K yang resah dan gelisah (ingat hampir semua elemen di alam semesta bersifat dielektrik).
Ya, daging itu telah menjadi medium turunan ketiga dari sebuah dosa. Jangankan terpegang, dikantungi plastik saja dan plastik itu “dicengkiwing” hanya oleh 1 ibu jari dan 2 jari anak buahnya, maka sifat semi konduktornya tetap akan menjadi penghantar bagi proses MLD. Kemudian daging itu disemur, dan dimakan beramai-ramai. Ketika ia sampai di lambung dan saluran pencernaan, amilase, gastrin, pepsin, tripsin, garam empedu,dan juga lipase ogah-ogahan menjamunya karena merasa tak kenal. Jadilah daging itu diolah seenaknya dan tentu semau gue juga dong! Blok pembangun yang semestinya kelak dapat menjadi bagian dari keshalehan dan kejeniusan otak seorang anak, gagal menjadi protein dan banyak diantaranya menjadi gugus sterol alias lemak. Lemak ini akan terakumulasi menjadi hormon steroid dari anak ginjal yang mendorong terciptanya rasa cemas, gelisah, khawatir, dan ketakutan. Coba bayangkan, hanya dari sekerat daging sapi yang semestinya halal, anak-anak dari keluarga muda itu akan tumbuh menjadi anak-anak yang pemarah, murung, gelisah, dan ketakutan, tanpa mereka pernah tahu apa sebabnya.
Dan bila kelak mereka dewasa serta menjadi pribadi yang berakhlaq kurang mulia, siapakah sebenarnya yang bertanggung jawab dan terbebani oleh dosanya? Tentu bukan para downliner bukan? Kitalah, para orangtua yang berperan sebagai up-line yang akan menuai badai bonus dosa, Naudzubillahi mindzalik.
Ternyata proses dan fenomena ini tidak hanya terjadi pada kegiatan makan-memakan saja, melainkan pada semua aspek kehidupan seorang manusia. Setiap rasa bersalah karena melanggar perintah dan larangan Allah, yang merupakan kebenaran absolut, maka setiap sel dan setiap unsur di dalam tubuh kita akan bersikap chaos yang pada gilirannya akan mengakibatkan munculnya dampak akumulatif yang mengacaukan sistem bio-psikologis. Jiwa-jiwa kita menjadi sulit untuk mencapai tataran muthmainah, naudzubillahi mindzalik. Seorang ibu yang tegang dan kecewa (tanda-tanda kufur nikmat), pada saat mengandung putranya berarti dapat pula dikatakan berinvestasi pada kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa anaknya di kemudian hari. Demikian pula seorang ayah yang pemarah dan pembohong, setiap belaiannya pada sang anak akan menularkan ketakutan, kegelisahan, dan kekacauan quantum biologis pada anaknya. Oh anak, engkau rupanya sebuah cermin bagi keimanan kedua orangtuamu.
Maka bertaubatlah kita, berdoalah kita, dan berwudhulah kita untuk mensucikan setiap proses interaksi dengan setiap elemen dalam kehidupan. Karena itu pula di setiap perjumpaan diwajibakan bagi kita untuk mengucapkan salam, sebuah doa bagi sesama, dan sebuah doa bersama bagi keselamatan kita semua.
Oleh karena itu pula terkuak makna dalam doa sebelum makan yang memiliki arti tidak sekedar mengharapkan barokah dari makanan yang tersedia, tetapi juga permohonan agar terhindar dari azab api neraka. Doa makan itu rupanya bagian dari proses sterilisasi dan pengeliminasian unsur-unsur dosa (haram) dalam sebuah makanan.
Dikutip dari tausyiah275.blogsome.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar